Minggu, 16 Juni 2013

Makalah Hukum Dan Pembangunan Nasional

Makalah

HUKUM DAN PEMBANGUNAN NASIONAL

DISUSUN

O

L

E

H


FIKRI IDRIS NALALI
      





FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
2012\2013



KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Karena atas rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ” SISTEM SOSIAL INDONESIA” shalawat beserta salam selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga dan para sahabatnya.
Saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak dalam membantu menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah SISTEM SOSIAL INDONESIA.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga makalah yang sederhana ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Amin.

Alhamdulillah hirobbil alamiin.
















DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... ..i
DAFTAR ISI.........................................................................................................     ..ii
BAB I.PENDAHULUAN..............................................................................      ..1
1.1.Latar Belakang.................................................................................. ..1
1.2.Tujuan Masalah....................................................................................2
BAB II.PEMBAHASAN I.......................................................................................7
2.1.Pasal 1 KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)..............................
BAB III.PEMBAHASAN II..................................................................................
             3.1.Larangan kekerasan dalam rumah tangga..............................................
             
BAB IV.PENUTUP.............................................................................................. .19
              4.1. Kesimpulan...................................................................................... .19
              4.1.Saran........................................................................................................19


















BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang

     Hukum telah lama ada dan keberadaannya telah diakui serta digunakan untuk berbagai keperluan. Tetapi hukum yang benar-benar otonom di masyarakat kita tentulah masih menjadi pertanyaan besar karena makna yang ada dibalik hukum yang terbentuk (undang-undang atau peraturan lainnya) seringkali lebih dominan (seperti unsur politik, ekonomi dan kepentingan lain) dibandingkan makna hukum yang berciri keadilan. Otonomi hukum perlu ditumbuhkan agar hukum sebagai suatu sistem tersendiri mempunyai kebebasan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat berupa keadilan dan tuntutan ilmu pengetahuan berupa timbulnya teori hukum yang lebih komprehensif.
     PEMBANGUNAN hukum nasional secara implisit mencerminkan bahwa sampai saat ini di Indonesia masih terjadi proses perubahan sosial menuju ke arah modernisasi yang dikemas dalam proses legislasi yang teratur dan berkesinambungan dengan memasukkan aspek sosiokultural yang mendukung arah perubahan tersebut.
Filosofi yang dianut dalam pembangunan hukum nasional selama kurang lebih 30 (tiga puluh) tahun yaitu konsep hukum pembangunan yang menempatkan peranan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat, belum mengalami perubahan, dan bahkan belum pernah diuji kembali keberhasilannya. Hal ini merupakan salah satu tugas utama yang mendesak (sense of urgency) yang harus dilaksanakan oleh pemerintah (Departemen Kehakiman), terlebih dengan cepatnya perubahan sistem politik dan sistem ketatanegaraan yang telah terjadi sejak masa reformasi.
Telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi, dan dari sistem sentralistik ke dalam sistem otonomi. Perubahan paradigma tersebut sudah tentu berdampak terhadap sistem hukum yang dianut selama ini yang menitikberatkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak berpihak kepada kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat dan produk hukum yang lebih mengedepankan dominasi kepen­tingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah daerah.
Di samping perubahan paradigma tersebut juga selayaknya kita (cendekiawan hukum dan praktisi hukum) ikut mengamati fenomena-fenomena yang terjadi di dalam percaturan politik dan kehidupan ketatanegaraan di Indonesia karena terhadap masalah ini kita sering "alergi" dan mengabaikannya, sedangkan kehidupan perubahan sistem politik dan sistem ketatanegaraan berdampak mendasar terhadap perkembangan sistem hukum. Fenomena yang saya maksud, pertama, kecenderungan sistem otonomi menjadi lebih diperluas sehingga dapat menjadi federalisme; dan kedua, kecenderungan sistem multipartai yang berdampak terhadap sistem kabinet presidensial yang selama ini dianut dalam UUD 1945. Kecenderungan ini sudah terjadi dalam kabinet Gotong Royong di bawah Presiden Megawati yaitu dengan sistem koalisi. Fenomena ketiga, kecenderungan pemisahan (bukan pembedaan) secara tegas (separation bukan differentiation) antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Fenomena ketiga sangat berpengaruh terhadap law making process (LMP), dan law enforcement process (LEP). Fenomena keempat, masuknya pengaruh-pengaruh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke dalam pengambilan keputusan pemerintah dan proses legislasi. Fenomena kelima, adanya Tap MPR RI yang memerintahkan kepada Presiden untuk melaksanakan pemberantasan KKN dan menciptakan pemerintah yang bersih dan berwibawa semakin menambah beban pemerintah yang tidak kecil di masa kini dan masa mendatang.
Kelima fenomena yang telah saya uraikan di atas merupakan bahan kajian untuk mengantisipasi kemungkinan wujud sistem hukum dan sistem penegakan hukum di masa yang akan datang. Hal ini saya pandang sangat penting karena kita sering mengalami inertia dalam mengantisipasi perkembangan kehidupan masyarakat baik di bidang politik, sosial, maupun ekonomi.
Dalam awal uraian telah saya kemukakan adanya perubahan sistem hukum yang mendasar. Perubahan dimaksud merupakan konsekuensi logis dari perubahan kedua sistem terdahulu. Walau demikian, tidaklah berarti bahwa perubahan sistem hukum tersebut merupakan perubahan yang serta-merta, tetapi harus ada persiapan yaitu penataan yang bersifat komprehensif dan tidak parsial terhadap sistem hukum yang kini dianut, seperti halnya proses legislasi yang telah dilaksanakan pemerintah sejak era reformasi tahun 1980-an.
Pembangunan hukum nasional masa reformasi saat ini merupakan masa transisi dari sistem pemerintahan sebelumnya kepada sistem demokrasi yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan hak asasi manusia, serta membuka akses publik kepada kinerja pemerintahan. Konsepsi hukum pembangunan yang menitikberatkan kepada hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat pada masa tahun 1970-an tanpa penjelasan lebih jauh mengenai bentuk atau wujud masyarakat bagaimana yang dikehendaki ke depan, maka konsepsi hukum demikian akan sangat rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif dan yudikatif. Hal ini sudah terjadi dengan munculnya peristiwa perampasan hak-hak rakyat baik di bidang politik, ekonomi, dan sosial di masa lampau dengan alasan untuk pembangunan nasional melalui berbagai peraturan perundang-undangan atau keputusan pemerintah.
Keadaan ini menjadi lebih kompleks karena reformasi yang dibangun sejak tahun 1998 terbukti sangat cepat tanpa melalui masa transisi yang cukup untuk mengendapkan dan mendalami esensi reformasi tersebut baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun HAM. Banyak pihak termasuk kaum cendekiawan saat itu sudah tidak sabar menunggu dan ingin cepat agar pemerintah melaksanakan reformasi dalam keempat bidang tersebut tanpa memberikan kesempatan bernapas, apalagi untuk mengendapkan dan mendalami secara hati-hati seluruh tuntutan reformasi tersebut. Sementara kita ketahui, reformasi yang dituangkan ke dalam Ketetapan MPR RI itu pun belum dapat diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah. Bahkan ada keraguan di antara para pemikir dan kaum birokrasi tentang validitas bahan-bahan acuan dan data yang telah digunakan dalam penyusunan Ketetapan MPR RI tersebut yang secara fundamental telah mengubah arah dan tujuan pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan hukum pada khususnya. Apalagi, jika dilihat dari segi waktu yang sangat singkat dengan jumlah anggota MPR RI kurang lebih sebanyak 500 (lima ratus) orang yang berasal dari berbagai partai dan golongan disertai kepentingan yang bervariasi.
Dalam konteks kondisi seperti itu, tidaklah dapat dihindari terjadinya anomali mengenai cita reformasi khususnya di bidang hukum; ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa dalam hubungan internasional tuntutan reformasi hukum sesuai dengan komitmen internasional tidak kunjung selesai atau terpenuhi. Keadaan ini sering dirasakan ketika pemerintah harus berpacu dengan waktu, bahkan dalam hitungan hari.
Dalam keadaan yang terdesak tanpa ada pilihan untuk kembali (point of no return) di tengah reformasi di bidang hukum, sekelompok masyarakat yang menamakan kelompok proreformasi atau prodemokrasi belum memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang esensi dari reformasi itu sendiri, bahkan cenderung memahami reformasi itu sebagai demokrasi an sich, tanpa mempertimbangkan kultur dan karakteristik budaya bangsa ini. Lebih jauh pemahaman tentang penegakan tatanan kehidupan yang demokratis seakan dipahami sebagai menghalalkan pemaksaan kehendak sekalipun dengan cara kekerasan untuk mencapai suatu tujuan di balik alasan klasik, untuk kepentingan rakyat.
B. Tujuan Masalah

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa bisa mengetahui Hukum dan Perkembangan Nasional, dalam Hukum dan Perkembangan Nasional ada beberapa masalah yang akan kami bahas yakni;

1.Apakah perkembangan hukum nasional dipengaruhi oleh hukum-hukum yang lain?
2.Sejak kapankah hukum national Indonesia berkembang?
3.Fungsi dan peranan hukum dalam perkembangan nasional?
4.Bagaimana pembinaan hukum
5.Pembaharuan pendidikan hukum dan pembinaan profesi hukum
6.Bagaiamana pemantapan cita hukum dan asas-asas hukum nasional di masa kini dan .pengaruhnya di masa yang akan dating.

Masalah ini semuanya dikaji dalam .Makalah HUKUM dan PEMBANGUNAN NASIONAL.


























BAB II
PEMBAHASAN

1.  Apakah Hukum Nasional Dipengaruhi oleh hukum-hukum yang lain?

Nuansa Kolonial Dalam Negara Nasional
Hukum yang ada di Indonesia (minus hukum adat) sebagian besar masih didominasi oleh hukum peninggalan kolonial Belanda melalui produk-produknya yang sekarang masih berlaku dengan berbagai modifikasi, dilengkapi dengan undang-undang baru untuk mengatur bidang yang baru muncul kemudian. Tidak dapat disangkal bahwa pada masa kolonial, hukum tidak digunakan dalam fungsinya yang positif, dalam pengertian tidak digunakan untuk tujuan hukum itu sendiri yaitu memberi keadilan tetapi lebih tepat disebut sebagai alat penjajah untuk memperkuat posisinya dan mendapatkan legitimasi dalam menghukum para pejuang kemerdekaan.

Hukum menjadi sub sistem dari sistem penjajahan sehingga hukum tidak mempunyai otonomi. Hukum dalam tahap ini menurut pandangan Nonet dan Selznick masih berada dalam tahap hukum represif atau jika dipandang dari teorinya Roscou Pound hukum dipandang sebagai alat penguasa (baik dalam fungsinya sebagai social control maupun as a tool as social engineering) yang bertujuan untuk mengkooptasi rakyat Indonesia agar tidak melakukan tindakan yang merugikan penjajah.

Pandangan hukum dari penjajah adalah pandangan hukum Austin yang imperatif. Kehidupan hukum yang demikian oleh Rudolf von Jhering dipandang terlalu sibuk dengan konsep-konsep sehingga ilmu hukum untuk kepentingan sosial sehingga hukum menjadi mandul apabila dipisahkan dari lingkungannya. Austin berpendapat hukum merupakan suatu proses sosial untuk mendamaikan perselisihan-perselisihan dan menjamin adanya ketertiban dalam masyarakat. Tugas ilmu pengetahuan hukum adalah untuk mempelajari dan berusaha untuk menjelaskan sifat hakekat dari hukum, perkembangan hukum serta hubungan hukum dengan masyarakat. Ilmu hukum (science of jurisprudence) mengani hukum positif atau laws strictly so called tidak memperhatikan apa hukum itu baik atau tidak. Semua hukum positif berasal dari satu pembuat undang-undang yang terang, tertentu dan berdaulat (soverign) Ketertiban bagi penjajah merupakan hal yang sangat penting. Hal ini berkaitan dengan kegiatan bisnis mereka agar tidak terganggu dan uang hasil penjualan rempah-rempah dan cengkeh tidak dihamburkan untuk biaya perang sehingga keuntungan yang diperoleh bisa diangkut ke Belanda.

Bangsa Indonesia sebagai negara terjajah atau sebagai negara pinggiran tidak memiliki peran yang berarti dalam kehidupan hukum. Peran pinggiran bangsa Indonesia antara lain dapat dilihat dalam diskusi dan debat mengenai perlakuan terhadap hukum adat. Bangsa Indonesia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara mengenai suatu permasalahan besar yang menyangkut dirinya dan hanya menjadi penonton dan obyek kontrol oleh hukum. Sebagai negara pinggiran maka segala keputusan dan siasat ditentukan dari Den Haag. Sesudah Indonesia merdeka, hukum masih juga dipandang sebagai alat penguasa, ini terbukti dengan adanya UU No. 19/1964 yang menentukan bahwa hukum merupakan alat revolusi pancasila menuju masyarakat sosialis Indonesia. Sekali lagi ini menjadi bukti bahwa kekuasaan yudikatif tidak berdaya menghadapi kekuatan eksekutif sehingga mekanisme check and balance tidak berjalan, Perubahan dari negara pinggiran ke negara sebagai pelaku penuh dalam kehidupan hukum tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia malahan mewarisi sikap kolonial yang tidak memajukan hukum sebagai instrumen membangun bangsa.

Memasuki orde baru Indonesia mulai melakukan industrialisasi. Pemanfaatan tenaga manusia mulai ditinggalkan dan diganti dengan mesin-mesin modern. Modernisasi dalam indutrialisasi membawa dampak yang tidak sedikit pada masyarakat. Jika modernisasi dipandang sebagai transisi menuju masyarakata modern, waktu dan pentahapan modernisasi seringkali dilalaikan. Bukti historis dan komparatif jelas mengungkap bahwa modernisasi tidak dapat berlangsung dua kali melalui cara yang sama. Variasi waktu dan pentahapan dapat dipengaruhi misalnya oleh inisiatif dan perencanaan pemerintah, oleh persaingan dan peniruan, oleh difusi kebudayaan dan ideologi. Sebenarnya hukum Indonesia perkembangannya sudah menuju pada hukum yang modern, ditandai dengan diterimanya hukum sebagai alat rekayasa sosial, sebagai sarana kebijakan negara. Diterimanya hukum sebagai sarana rekayasa sosial memperkuat pemahaman bahwa hukum adalah buatan manusia, sebagai keputusan politik hukum sangat diwarnai oleh tujuan-tujuan, kepentingan-kepentingan dan selektivitas serta dipengaruhi oleh konteks seperti kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum dan hankam serta struktur-struktur yang ada. Dalam bidang ilmu pengetahuan hukum, pemerintah orde baru tidak peduli dengan hal ini. Pemerintah terlalu sibuk dengan memanfaatkan hukum untuk kepentingannya. Justru yang dikembangkan adalah usaha mengganti produk undang-undang peninggalan kolonial tetapi subtansi dari peraturan itu kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang ada di Indonesia. Sebagai parameternya adalah berapa undang-undang atau peraturan kolonial yang telah diganti.

2.Sejak kapankah hukum national Indonesia berkembang?

Hukum yang fleksibel dan tuntutan perubahan
Dalam kehidupan hukum, saat ini adalah masa transisi yang kedua setelah transisi yang pertama seperti tersebut di atas tidak membawa pengaruh yang besar terhadap kehidupan hukum yang masih diwarnai nuansa kolonial. Pada masa transisi yang kedua ini merupakan masa untuk membangun hukum secara baik, tetapi yang harus diperhatikan oleh pembuat undang-undang adalah perlu ditumbuhkan pengertian bahwa hukum bukanlah sesuai yang eksak, pasti dan steril.

Sistem hukum sendiri mendapat sebutan yang tidak menyenangkan, yaitu sebagai dualisme dalam hukum. Istilah dualisme hukum ini memberikan gambaran tentang kontradiksi-kontradiksi antara hukum dalam teori dengan hukum dalam praktek, antara validitas dan efektivitas dari hukum, antara norma dan fakta sebagai kenyataan. Kontradiksi-kontradiksi ini sering membingungkan bagi orang-orang yang berniat untuk mempelajari ilmu hukum secara mendalam. Mungkin ahli hukum akan menyangkal kenyataan ini dan bahkan akan menuduh bahwa ini hanyalah merupakan alasan yang dibuat-buat saja. Castberg F. memberikan reaksi terhadap pandangan yang dualistik dari karakter hukum ini, yaitu suatu fakta bahwa orang mengenal karakter normatif dari hukum sebagai suatu sistem normatif yang mengikat, tidak pernah berusaha membuat solusi yang dapat memecahkan problem yang menyangkut hubungan antara hukum dengan realitas. Dasar-dasar dari hukum adalah keputusan-keputusan faktual yang didasarkan pada fakta-fakta, bentuk-bentuk tindakan atau perilaku individu dan kesadaran akan kewajiban yang semuanya terletak di dalam kenyataan yang bersifat psycho-psycsical. Problem kemudian terjadi karena hukum - seperti digambarkan Kelsen - muncul ke permukaan baik sebagai sollen dan sein. Suatu kenyataan bahwa kedua kategori itu secara logis berbeda dan terpisah satu sama lain. Persepsi normatif dogmatis pada hakekatnya menganggap apa yang tercantum dalam peraturan hukum sebagai deskripsi dari keadaan yang sesuangguhnya. Tetapi seperti dikatakan oleh Chamblis dan Seidman, kita sebaiknya mengamati tentang kenyataan bagaimana sesungguhnya pesan-pesan, janji-janji serta kemauan hukum itu dijalankan. Janganlah peraturan hukum itu diterima sebagai deskripsi dari kenyataan. Apabila yang demikian terjadi maka sesungguhnya kita telah membuat mitos tentang hukum padahal mitos yang demikian itu setiap hari dibuktikan kebohongannya. Agar tidak termakan oleh mitos-mitos itu maka kita harus mempelajari fakta atau relaitas yang ada di masyarakat. Fakta sosial yang ada di masyarakat tak dapat dipelajari dan dipahami hanya melalui kegiatan mental murni atau melalui proses mental yang disebut dengan pemikiran spekulatif. Untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural sciences) dalam mempelajari obyek studi. Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi obyek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Norma hukum merupakan fakta sosial seperti halnya arsitektur karena norma hukum adalah barang sesuatu yang berbentuk material. Sedangkan fakta sosial yang lain seperti opini hanya dapat dinyatakan sebagai barang sesuatu, tidak dapat diraba dan adanya hanya dalam kesadaran manusia.

Kembali kepada permasalahan hukum di Indonesia dan ke arah mana hukum hendak di bangun, maka untuk itu harus diperhatikan beberapa hal yang agar perubahan dalam hukum betul-betul menyentuh masyarakat sebagai suatu kesatuan, bukan segelintir elit yang memegang kekuasaan. Untuk itu pertanyaan yang harus diajukan adalah darimanakah datangnya perubahan sosial yang sekarang terjadi dan apa sebab-sebab terjadinya perubahan itu. Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dipandang dari berbagai segi, misalnya dari segi ekonomi maka titik tolaknya adalah krisis moneter (yang bermula pada tahun 1997) dan jika dilihat dari segi politik maka titik tolaknya adalah kehidupan yang tidak demokratis dan melahirkan pemerintahan yang totaliter. Berbagai perkembangan itu berpengaruh terhadap kehidupan hukum. Jika pada masa kolonial dan orde lama hukum digunakan sebagai alat (sebagai alat kepentingan politik), demikian juga pada orde baru (sebagai alat kepentingan ekonomi). Dari ketiga masa yang telah dijalani oleh pemerintah Indonesia itu hukum menjadi sub sistem dari sistem yang lebih besar dan dari sini nampak bahwa hukum sesungguhnya tidak mempunyai fleksibilitas atau keluwesan untuk mengembangkan dirinya dan tuntutan masyarakat.Dalam masa reformasi, hukum seakan-akan mengalami chaos, artinya keberadaan hukum dipertanyakan dan disangsikan keefektifannya oleh masyarakat sehingga merebak apa yang dinamakan eigenrichting. Pandangan masyarakat yang demikian dapat dimaklumi dengan anggapan bahwa hukum itu buatan manusia, kenapa tidak boleh dilanggar dan dibuat hukum yang lebih baru dan bermanfaat. Fungsi dan tugas hukum dalam masa ini mengalami reorientasi dan reformasi untuk menyesuaikan perkembangan masyarakat.

Saat ini sebenarnya saat yang tepat bagi hukum untuk menunjukkan otoritasnya sebagai satu kekuatan yang pantas diperhitungkan dalam perkembangan bangsa. Tetapi apa yang terjadi sepertinya tidak sesuai dengan harapan karena produk-produk yang muncul saat ini adalah produk yang mencerminkan kepentingan ekonomi (melalui IMF) dan kepentingan politik (tarik ulur partai politik).

Kita sebenarnya mengharapkan agar hukum Indonesia yang dibangun berdasarkan pada kepentingan atau kemauan rakyat bukan penguasa. Hukum lama sudah terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada yang berdampak pada kesengsaraan rakyat. Hukum harus berubah dengan lebih banyak memperhatikan rakyat kecil yang selama ini menjadi korban pembangunan yang tidak pada tempatnya. Apa yang diharapkan tentu saja dapat terwujud apabila hukum benar-benar memiliki fleksibilitas dalam mengembangkan dirinya tanpa campur tangan kekuasaan.


3 Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional

Dalam mengisi kemerdekaan dengan pertumbuhan dan pembangunan nasional, maka mulai timbul suatu kelesuan (melaise) dan kekuranpercayaan akan hukum dan kegunaannya dalam masyarakat. Masyarakat pada satu pihak mulai acuh tak acuh atau mulai hilang kepercayaan terhadap hukum, tetapi dilain pihak ada juga masyarakat yang memiliki kepercayaan yang naif terhadap kekuatan yang seakan-akan magis religius daripada hukum mencirikan cara berpikir kita umumnya tentang hukum. Kedua gambaran sikap masyarakat terhadap hukum ini sebenarnya kurang tepat, karena disatu pihak masyarakat terlalu memandang rendah arti dari fungsi hukum dalam masyarakat, sedangkan anggapan dari pihak masyarakat yang lainnya tidak pula banyak menolong karena mengharapkan sesuatu daripadanya.
Kesemuaanya ini memaksa kita untuk memahami fungsi hukum dalam masyarakat ini dengan lebih wajar, dengan cara meneliti arti dan fungsi hukum itu secara akal (rasional). Arti dan fungsi hukum dalam masyarakat sebenarnya terletak pada tujuan hukum itu sendiri. Salah satu tujuan dari hukum yang telah direduksi adalah ketertiban (order). Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat mutlak bagi suatu masyarakat manusia yang teratur. Selain itu, tujuan hukum adalah tercapainya keadilan serta adanya kepastian hukum dalam rangka ketertiban masyarakat.
Hukum juga berfungsi sebagai kaidah sosial, tetapi bukan berarti bahwa pergaulan antara manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Yang membedakan hukum dengan kaidah sosial lainya adalah bahwa penataan ketentuan-ketentuannya dapat dipaksakan dengan cara yang teratur. Hukum dapat memaksa karena didalam hukum itu sendiri terdapat kekuasaan atau dengan kata lain hukum membutuhkan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Kekuasaan merupakan suatu unsur yang mutlak dalam suatu masyarakat hukum dalam arti masyarakat yang diatur oleh dan berdasarkan hukum secara analitik barangkali dapat dikatakan bahwa kekuasaan merupakan suatu fungsi dari masyarakat yang teratur.
Hukum sebagai kaidah sosial tentu tidak lepas dari nilai-nilai yang berlaku di suatu masyarakat. Dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan adri nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.
Fungsi hukum juga merupakan alat pembaharuan masyarakat atau dengan kata lain hukum merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif. Artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Kesulitan dalam menggunakan hukum sebagai suatu alat untuk mengadakan perubahan-perubahan kemasyarakatan adalah bahwa kita harus sangat berhati-hati agar tidak timbul kerugian pada masyarakat. Tindakan demikian tidak semata-mata merupakan tindakan yidikatif atau peradilan yang secara formal yuridis harus tepat karena eratnya hukum dengan segi-segi sosiologi, antropologi dan kebudayaan daripada persoalan.




4. Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional

Suatu pertanyaan yang akan mengawali bagian ini adalah adakah peranan hukum dalam proses pembangunan itu; dan bila ada apakah peranannya? Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Ada dua hal yang harus kita bedakan dalam peranan hukum. Pertama, hukum sebagai alat perubahan (pembangunan) dan pembinaan atau perkembangan hukum itu sendiri. Kesukaran-kesukaran yang dihadapi dalam perkembangan hukum sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat yang dijalankan secara berencana dan dapat diperhitungkan dapat digolongkan dalam tiga kesulitan yakni; sukarnya menentukan tujuan dari perkembangan hukum, sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan prediktif, sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur berhasil/tidaknya usaha pembaharuan hukum.
Selain tiga kesukaran ini masih ada pula masalah yang sering dihadapi oleh negara berkembang yakni; sering terdapatnya kepemimpinan yang karismatik yang kebanyakan bertentangan kepentingannya dengan cita-cita legal engineering menuju suatu masyarakat atau negara hukum, apabila pemimpin yang demikian sebagaimana pernah kita alami, tidak dijiwai atau memahami peranan hukum dalam masyarakat dan negara. Yang kedua adalah khusus yang sering dihadapi negara muda yang lahir dalam dan karena revolusi atau perjuangan kemerdekaan. Masyarakat demikian menghadapi kesulitan khusus bahwa kepercayaan dan keseganan terhadap hukum (respect fot the law) dan peranannya dalam masyarakat, yang revolusi dianggap sebagai simbol kekuasaan lama (kolonial, status quo) dan karenannya harus ditentang atau sebaiknya diabaikan saja, harus dipulihkan kembali. Kesulitan lain yang dihadapi juga dalam pembaharuan hukum adalah inertia (kelambatan) dalam sikap dan gerak yang biasanya meliputi segala hal yang bersangkutan dengan masalah-masalahhukum.
Secara praktis satu hal pertama yang harus dipikirkan dalam melakukan usaha pembinaan hukum adalah untuk menetapkan bidang-bidang hukum mana yang dapat diperbaharui dan bidang-bidang hukum mana yang sebaiknya dibiarkan dulu. Bidang-bidang yang harus diperbahrui dalam pembinaan hukum yakni bidang pendidikan hukum. Pendidikan hukum dewasa ini mutunya menurun dikarenakan beberapa sebab, yang terpenting diantaranya adalah kurangnya fasilitas termasuk pembayaran gaji yang cukup baik untuk menarik tenaga-tenaga yang baik ke dalam pendidikan atau mempertahankan yang ada supaya tetap tinggal dikalangan pendidikan. Sebab lain juga adalah kurangnya bacaan atau minat untuk membaca atau mungkin kedua-duannya. Pengajaran hukum di kebanyakan tempat pendidikan tidak lebih daripada suatu proses hafal menghafal semata-mata.
Perbaikan pendidikan dalam arti sebenarnya akan terjadi apabila diadakan perubahan-perubahan yang radikal dalam sistem pendidikan sehingga dapat dipenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jadi, persoalaanya adalah untuk menyesuaikan tujuan pendidikan hukum itu dengan kebutuhan suatu masyarakat yang merdeka yang sedang membangun. Hal ini membawa kita pada persoalan apakah tujuan pendidikan hukum itu hingga kini dan bagaimanakah seharusnya untuk masa yang akan datang. Hingga sekarang ini pendidikan hukum hanya mempersiapkan rang-orang untuk menjadi (1) pejabat pemerintah (2) pejabat kehakiman, hakim dan jaksa (3) anggota dari profesi bebas (advokat). Untuk merubah semuanya ini maka pendidikan hukum harus menggunakan cara-cara yang menjamin partisipasi maksiman dari mahasiswa dalam proses pendidikan yang membangkitkan kemampuan-kemampuan kreatif dan tidak hanya menggunakan sistem kuliah yang membiasakan orang pada sikap yang pasif. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan memperkenalkan sistem diskusi kelompok, metode tanya jawab antara dosen dan mahasiswa (socratic method), penulis dan kertas-kertas kerja pendek yang kemudian dibincangkan dalam seminar-seminar kecil, dll. Struktur kurikulum tersebutlah yang harus kembangkan.
Apabila kita mendekati pembinaan hukum nasional secara menyeluruh sebagai bagian dari pembangunan nasional, kiranya kita menetapkan tiga kelompok masalah yang intinya yakni; (1) inventarisasi dan dokumentasi hukum yang berlaku, (2) media dan personil (unsur manusia), (3) perkembangan hukum nasional. Ketiga hal ini harus mengalami perubahan sehingga pembinaan hukum nasional dalam rangka pembangunan nasional dapat terlaksana denganbaik.

5.Pembaharuan Pendidikan Hukum dan Profesi Hukum

Pembinaan profesi hukum di Indonesia hingga sekarang adalah bahwa hal itu sebaiknya dilakukan sesudah lulus dari fakultas hukum. Ada anggapan bahwa mempelajari keterampilan profesional (profesional skills) dapat diadakan dalam praktik, sedangkan pendidikan diperguruan tinggi hanya bertujuan memberikan suatu dasar pengetahuan akademis tentang hukum yang bersifat umum. Hal ini adalah warisan dari masa Hindia Belanda. Perubahan mulai terjadi dalam pendidikan hukum mulai dikembangkan oleh Universitas Padjadjaran. Contohnya pada tahun 1958 seorang Kepala Pengadilan Negari Bandung mulai mengadakan apa yang dinamakan praktik hukum, yakni setiap mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana harus mengikuit sidang-sidang Pengadilan Negeri masing-masing sepuluh kali untuk masing-masing pelajaran. Selain itu ada juga perubahan-perbuhan terutama dalam cara memberikan pelajaran menuju apa yang dinamakan sistem studi terpimpin. Kemudian juga ada sistem baccalaureat hukum.
Selepas tahun 1965, perubahan dalam pendidikan hukum dimulai pada beralihnya kurikulum lama ke kurikulum minimum. Kurikulum ini dimaksudkan agar menetapkan standar minimum yang harus dipenuhi oleh setiap fakultas hukum dan sekaligus berusaha mengadakan uniformitas dalam pelbagai ragam kurikulum yang ada tanpa melepaskan unsur-unsur keluwesan (fleksibel). Konsepsi kurikulum minimum sebagai upaya pembinaan ini disertai dengan sistem penggolongan fakultas hukum dalam golongan fakultas pembina, madya dan muda. Kegiatan konsorsium fakultas-fakultas hukum ini dinamakan sub-konsorsium ilmu hukum, terutama terletak dalam menyebarkan konsepsi kurikulum minimun dan melengkapinya dengan silabus atau ikhtisar-ikhtisar kuliah dan daftar bacaan untuk tiap maka kuliah. Ada empat hal kurikulum minimun fakultas hukum yakni; (1) menetapkan syarat-syarat minimun yang harus dipenuhi kurikulum suatu fakultas hukum (2) menetapkan uniformitas antara kurikulum-kurikulum fakultas dalam batas minimun kurikulum tanpa menuntup kemungkinan variasi dari tempat ke tempat sesuai dengan keadaan dan kemampuan; (3) mengadakan suatu permulaan spesialisasi tanpa meninggalkan adanya suatu pendidikan dasar yang bersifat umum sampai di tahun keempat; (4) membuka kemungkinan bagi cara pendekatan multi dan interdisipliner dengan adanya mata-mata pelajaran pilihan yang tidak usah diikuti pada fakultas hukum saja.
Masalah pembinaan pendidikan tinggi di Indonesia termasuk pendidikan tinggi di bidang hukum sebenarnya dapat dikembalikan pada pokok masalah, yakni masalah mempertahankan dan meningkatakan mutu pendidikan, dan masalah pembaharuan pendidikan khususnya dihubungkan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia sebagai negara baru merdeka yang sedang berkembang. Re-orientasi pendidikan hukum nasional mempunyai arti yang lebih luas dari pembaharuan, karena pembaharuan pendidikan bisa juga dilakukan tanpa hubungan dengan perubahan tujuan pendidikan dan terbatas pada pembaharuan dalam arti teknis yang menyangkut kurikulum, metode pengajaran dan cara pendekatan. Hal yang harus diperhatikan dalam pembaharuan pendidikan hukum di Indonesia adalah masalah perubahan sikap seseorang terhadap masalah (attitudinal problem) dan perlu diperhatikan pendidikan atau latihan dalam keterampilan-keterampilan profesiolan (professional skills training) sebagai imbangan dari pendidikan akademi universiter) atau teoretis-ilmiah yang kini mendominasi pendidikan hukum Indonesia. Pendidikan hukum nasional juga harus meliputi etika profesi (professional ethics).
Hal baru yang ditemui pada perubahan pendidikan hukum nasional adalah pendidikan klinis hukum. Pendidikan klinis hukum bermaksud mengajarkan beberapa keterampilan teknik hukum yang akan dibutuhkan oleh seorang ahli hukum bila terjun ke dalam masyarakat setelah lulus dari fakultas hukum, merupakan suatu segi yang harus diperhatikan apabila tujuan pendidikan hukum untuk kebutuhan negara merdeka yang sedang berkembang hendak mempunyai arti. Tujuan lain dari pendidikan klinis adalah bahwa pendidikan klinis itu harus dekat dengan keadaan hidup yang nyata (relevant), mempersiapkan dimilikinya keterampilan-keterampilan teknis hukum (legal skills) oleh lulusan, dan menanamkan suatu problem-solvingattitude.
Selain itu suatu pendidikan profesional tanpa pendidikan mengenal tanggung jawab dan etika profesi tidak lengkap. Pendidikan ketrampilan teknis di bidang hukum yang mengabaikan segi yang menyangkut tanggung jawab seseorang terhadap orang yang dipercayakan kepadanya dan profesinya pada umumnya serta nilai-nilai dan ukuran etika yang harus menjadi pedoman dalam menjalankan profesinya hanya akan menghasilkan tukang-tukang yang tampil belaka di bidang hukum dan profesinya. Pengajaran etika profesi dalam hukum selain harus memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis yang cukup, juga harus memiliki kepribadian yang dan etika hukum yang pada hakikatnya tidak (hanya) mengajarkan apa yang ia ketahui (pengetahuan) atau apa yang dapat lakukan (teknik) melainkan harus dapat menyampaikan kepada siswa bagaimana seharusnya (ought to be) seorang ahli hukum yang berkepribadian baik itu. Dan ini hany dapat dilakukan dengan meyakinkan apabila ia sendiri dalam kenyataanya adalah (is) seorang yang memiliki etika hukum dan rasa tanggung jawab yang tinggi.

6. Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional Dimasa Kini dan Pengaruhnya Dimasa Yang Akan Datang


Dalam bagian ini marilah kita mulai melihatnya dari Cita Hukum Negara Republik Indonesia. (1). Sejak negara republik Indonesia memproklamasikan dirinya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka cita-cita hukum (rechts-idee) dirumuskan secara singkat bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan itu tidak tanpa batas, artinya kekuasaan itu tunduk pada hukum. Secara populer dikatakan bahwa negara hukum adlah negara berdasarkan hukum, dan kekuasaan harus tunduk pada hukum. (2) dalam negara hukum semua orang sama, tanpa perbedaan yang didasarkan atas ras (keturunan), agama, kedudukan sosial dan kekayaan. Perumusan hak dan kedudukan warga negara nyata dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (3) bentuk organisasi masyarakat dan bangsa yang telah dicita-citakan adalah suatu negara yang berbentuk republik. (4) di bidang non-fisik yang tidak menggembirakan adalah bidang hukum, khususnya penegakannya. Keadaan ini akan menurunkan citra kita sebagai negara hukum yang tidak mustahil akan mempunyai dampak negatif terhadap iklim usaha dan investasi di negara kita. Dua hal pokok yang juga sering mengakibatkan polimik dalam penegakan hukum yakni; dengan mudahnya seorang dapat naik bading jika kalah dalam perkara, padahal menurut hukum sudah jelas bahwa mereka kalah dalam suatu perkara. Yang kedua adalah penggunaan perantara atau calo perkaraolehsipencarikeadilan.
Dalam negara berkembang sangat perlu untuk memelihara asas-asas dan konsep-konsep hukum yang secara umum dianut umat manusia atau asas hukum yang universal. Pada saat zaman Hindia Belanda politik hukum yang dipakai untuk bangsa Indonesia (masyarakat pribumi) dibidang hukum perdata adalah hukum adat. Ada pihak-pihak yang setuju dengan asas politik hukum ini, tetapi dilain adapula pihak-pihak yang melihat bahwa asas politik ini sebenarnya mengisolasi golongan pribumi Indonesia dari perkembangan hukum dunia. Kritikan ini datang dari Raymond Kennedy dari Yale University. Ia menamakan politik Hindia Belanda sebagai suatu politik anti-akulturasi.
Jalan keluar untuk membangun atau membina hukum nasional adalah dengan jalan diutamakan asas-asas yang merupakan pencerminan dari tekad dan aspirasi ebagai bangsa yang mencapai kemerdekaannya dengan perjuangan. Asas-asas dan konsep demikian terkandung dalam UUD’1945 dan Mukadimahnya yang merupakan pencerminan dari falsafat Pancasila. Asas kesatuan dan persatuan atau kebangsaaan mengamanatkan bahwa hukum Indonesia marupakan hukum nasional yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Hukum nasional berfungsi mempersatukan bangsa Indonesia. Asas Ketuhanan mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Asas Demokrasi mengamanatkan bahwa dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan, kekuasaan harus tunduk pda hukum, bukan sebaliknya. Pada analisis terakhir kekuasaan ada pada rakyar dan wakil-wakilnya. Asas Keadilan Sosial mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama dihadapan hukum. Asas Kesatuan dan Persatuan tidak bararti bahwa kenyataan adanya keanekaragaman budaya tidak perlu diperhatikan. Bhineka Tunggal Ika merupakan motto negara yang mercerminkan keanekaragaman budaya itu. Lagi pula merupakan kenyataan dalam negara yang secara geografis terdiri dari beribu-ribu pulau yang tersebar dalam suatu negara yang terdiri dari darat (pulau) dan laut (air) yang meliputi tiga zona waktu.
Membangun hukum berdasarkan wawasan nusantara berarti membangun hukum nasional dengan memadukan tujan membangun hukum nasional yang ragaman budaya dari penduduk yang mendiami suatu negara kepulauan. Pedoman yang dapat digunakan dalam membangun hukum nasional adalah untuk mengusahakan kesatua apabila mungkin, membolehkan keanekaragaman bila keadaan menghendakinya, tetapi bagaimanapun juga mengutamakan kepastian, (unity whenever possible, diversity where desirable, but above all certainty).
Hukum dan tuntutan pembangunan nasional pertama-tama berpusat pada kegiatan ekonomi, yakni pada usaha meningkatkan pertanian, menarik modal untuk mengelolah kekayaan tambang, minyak dan gas bumi dan pemulihan infrastruktur yang terbengkalai selama kurang lebih tiga puluh tahun. Kemudian tertuju juga pada kegiatan perdagangan internasional, tetapi masih terbatas pada perdaganan komoditi tradisional Indonesia seperti karet, timah, teh dan kopi serta barang-barang lainnya. Sistem kontrak yang dipakai dalam periode ini adalah sistem kontrak karya dan kontrak bagi hasil (production sharing). Hukum-hukum yang mengatur pasar modal tidak mengalami kesulitan berati hanya saja pengembangan hukum perdagangan di Indonesia adalah belum adanya undang-undang atau hukum tertulis. Apabila ada hukum tertulis maka hukum akan memperoleh kepastiannya.
Satu asas penting adalah dibedakannya hukum publik dan hukum perdata. Hukum publik mengatur hubungan antara ngara atau pemerintah dengan warga (orang perorang) atau hubungan antara satuan-satuan antarinstansi negara atau pemerintah, sedangkan hukum perdata mengatur hubungan hukum perorangan. Hukum tata negara, hukum tata usaha neraga atau tata pemerintahan dan hukum pidana misalnya adalah hukum publik, sedangkan hukum perdata dan hukum dagang termasuk hukum perdata. Asas lain adalah hukum pidana sebagai hukum publik berbeda dengan keadaan dalam hukum adat dimana pemisahan itu tidak ada atautidakbegitutajam.
Kesimpulannya bahwa dalam usaha membangun hukum nasional yang berlaku untuk seluruh bangsa dan sanggup mengantisipasi kemajuan dan pergaulan dengan dunia internasional ini, kita harus memegang teguh pada batas-batas dan pembedaan antara hukum perdata dan hukum publik dan antara hukum perdata dan hukum pidana yang sudah umum diterima masyarakat dunia. Hukum nasional Indonesia baik yang sudah lama diterima maupun yang sedang berkembang adalah kedudukan hukum adat dan asas-asas hukum adat dalam pembangunan hukum nasional masa kini. Usaha pembangunan hukum nasional lewat asas-asas hukum nasional, apapun asal usulnya perlu dimantapkan demi kelangsungan hukum nasional Indonesia sebagai suatu sistem hukum positif. Pemantapan asas-asas hukum pertama-tama bisa dilakukan dalam usaha pembentukan hukum nasional melaui (proses) perundang-undangan(legislation).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar